twitter button

PEMBERANTASAN KORUPSI 2009 TERANCAM

BAGAIMANA nasib pemberantasan korupsi pada 2009? Mereka yang optimistis akan menjawab: penuh tan­tangan. Yang pesimistis akan menyahut: suram. Kami memilih kata ”ter­ancam”. Jawaban yang tepat tidak ha­nya­ bergantung pada tindakan pemerintah melabrak korupsi tahun depan, tapi juga pada kehadiran Pengadilan Tindak Pidana orupsi. Pengadilan antikorupsi itu—sebut saja begitu—sampai sekarang belum diatur dalam undang-undang yang khusus. Bila undang-undang ini belum disahkan sampai Desember tahun depan, otomatis pengadilan yang belum pernah memvonis bebas koruptor itu akan bubar.
Pengadilan antikorupsi seakan berada di ujung tanduk setelah terbit putusan Mahkamah Konstitusi pada 19 Desember 2006. Dalam putusan atas gugatan uji materi yang diajukan Mulyana W. Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin—yang divonis bersalah oleh pengadilan antikorupsi dalam kasus korupsi dana Komisi Pemilihan Umum—Mahkamah Konstitusi menyebutkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menimbulkan dualisme peradilan. Ada pengadilan antikorupsi dan pengadilan umum yang sama-sama menangani kasus korupsi.


Mahkamah Konstitusi menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus direvisi paling lambat tiga tahun setelah putusan itu. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat wajib membuat undang-undang terpisah tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi demi meng­atasi dualisme tadi. Bila tenggat itu dilampaui dan revi­si undang-undang tak kunjung rampung, semua kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bisa lagi diadili di pengadilan antikorupsi, tapi di pengadilan umum. Sudah menjadi pengetahuan umum, reputasi pengadilan umum dalam mengadili kasus korupsi sangat jauh dari harapan orang banyak.

Repotnya, kecepatan kerja pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menyusun undang-undang baru ini sangat mencemaskan. Departemen Hukum baru me­ngi­rim draf rancangan undang-undang itu kepada Pre­siden pada April lalu. Baru pada September draf itu masuk Dewan Perwakilan Rakyat dan didaftarkan dalam program legislasi Dewan tahun 2008. Artinya, rancangan itu harusnya menjadi prioritas tahun ini—sesuatu yang sudah mustahil mengingat beberapa hari lagi tahun berganti.

Celakanya, agenda politik nasional tahun depan begitu­ padat. Pemilu legislatif berlangsung pada awal April. Ber­arti, ketika majalah ini sampai ke tangan Anda, pemilu legislatif tinggal 100 hari lagi. Sebelum itu, anggota Dewan praktis lebih banyak menghabiskan waktu untuk berkampanye. Setelah pemilu legislatif, pada Juli dan September anggota Dewan pasti terlibat urusan pemilihan presiden putaran pertama dan kedua. Dengan rentetan kegiatan begitu padat, wajar bila banyak orang sangsi Dewan Perwakilan Rakyat mampu merampungkan revisi Undang-­Un­dang Nomor 30 Tahun 2002 dan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Diharapkan Dewan Perwakilan Rakyat­ menjawab kesangsian ini dengan kerja keras, demi sebuah legasi yang bersejarah bagi gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Kalau ada kemauan dan niat baik, sebelum 100 hari pun pekerjaan itu akan selesai. Apalagi materi rancangan undang-undang yang disusun pemerintah sudah cukup bagus. Misalnya, kelak semua kasus korupsi, termasuk yang ditangani kejaksaan dan polisi, akan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dan pengadilan antikorupsi itu akan dibentuk di setiap kabupaten, sehingga lebih banyak kasus bisa diselesaikan. Rancang­an ini juga mengatur, hakim yang menangani pengadilan khusus itu nanti terdiri atas gabungan hakim ad hoc dan hakim karier—yang tidak merangkap bekerja di pengadilan umum.

Publik perlu terus mengawal kerja Dewan dalam merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan menyusun undang-undang pengadilan antikorupsi. Bila perlu, dengan cara datang langsung ke gedung Dewan dan menyampaikan aspirasi secara damai. Kalau ingin pemberantasan korupsi berjalan maksimal, dua undang-undang itu mesti kita miliki. Bahkan kedua perangkat hukum itu jauh lebih penting ketimbang sebuah kantor baru untuk Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bila revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tak terlaksana, barangkali pemerintah masih bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang agar Komisi bisa tetap bekerja. Itu pun kalau ada kemauan politik dari pemerintah baru nanti. Namun, apa­bila undang-undang pengadilan antikorupsi yang tak ter­bentuk, semua kasus korupsi harus dilimpahkan kepada pengadilan umum. Kita perlu khawatir bahwa zaman ketika para koruptor bisa ”main mata” dengan pengadil­an kembali berulang. Itu sebabnya semua pihak perlu sekerasnya mengupayakan tetap eksisnya pengadilan antikorupsi.

Bila hal itu tak tercapai, harus dikatakan gerakan pem­berantasan korupsi di republik ini ”patah sayap sebe­lah”.­
Sumber : Tempo Interaktif
Share this article :

+ komentar + 2 komentar

Anonim
24 Januari 2009 pukul 22.46

Pada awalnya banyak yang meragukan tokoh yang satu ini
tapi ternyata waktu yang membuktikan bahwa dia memang layak untuk terus menjadi tokoh perlawanan korupsi di Indonesia..

Gimana menurut anda?
Please comment back yah

27 Januari 2009 pukul 03.16

Bos orang pemerintahan ya..

kayaknya korupsi udach jadi budaya di negeri kita

yg anehnya yg udah kaya masih korupsi juga

kalau orang kecil masih wajar

Posting Komentar

Beri komentar sesuka anda, tapi syaratnya tidak vulgar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KAWANUA LAW CRIME - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger